Minggu, 17 November 2013

Kerajaan Tertua Di Indonesia Bukan Kutai


Kerajaan  Tertua di Indonesia yang berada di Desa Brubus Kecamatan Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara  namanya bukan Kerajaan Kutai. Karena Kerajaan Kutai sebenarnya baru muncul di Muara Mahakam, di Desa Kutai Lama Kecamatan Anggana pada abad ke 13 yang  raja pertamanya adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Bandingkan dengan dengan berdirinya Kerajaan Hindu di Muara Kaman yang berdiri pada  abad ke 4 Masehi, dengan raja pertamanya adalah Kudungga. Dalam Prasasti Yupa dan berbagai cerita maupun literatur yang sangat minim. Tidak pernah disebutkan sebagai kerajaan Kutai, namun  seringkali disebutkan sebagai negeri Martadipura dengan ibu kota Martapura, dan memiliki tempat persembahyangan bernama Waprakeswara.

Memiliki kekayaan yang melimpah sehingga mempersembahkan jiwadana, berupa pohon kalpataru, dan 3 ribu ekor sapi untuk para pendeta yang telah sudi membantu raja dalam berbagai hal. Hadiah itu tercatat dalam prasasti Yupa yaitu tiang batu bertulis, dan nama raja yang memberikannya adalah Mulawarman anak dari Aswawarman, cucu dari Kudungga yang mendirikan kerajaan.

Secara dialek bahasa, meskipun diakui sebagai bahasa Kutai, namun dialek warga Muara Kaman memang agak berbeda dengan dialek Kutai di Tenggarong. Dalam sejarahnya Martadipura yang kaya akan sumber daya alam berupa emas dan komidti hutan seperti tengkawang dan rotan, akhirnya menjadi rival dari kerajaan baru di Muara Mahakam yang bernama Kutai Kartanegara.

Dalam perjalanannya kedua Kerajaan sama-sama berusaha menghindarkan diri dari jurang peperangan. Terbukti dengan berbagai diplomasi kedua belah pihak, seperti upaya untuk saling mengakui saudara, dan dilakukannya perkawinan antara putri raja di Muara Kaman dan putra mahkota Kerajaan Kutai Kartanegara.

Namun upaya itu tidak dapat mengihndarkan kepentingan strategis kedua kerajaan dan akhirnya konfrontasi tidak bisa dihindarkan. Dengan posisinya yang strategis di Muara Mahakam, maka kerajaan Kutai Kartanegara mampu melakukan isolasi baik perdagangan maupun pertahanan terhadap Muara Kaman yang berada di pedalaman.

Setiap perjalanan ke Muara Kaman dan kerajaan-kerajaan lainnya di pedalaman, seperti Sendawar, Kota Bangun dan Kedang, maka harus melalui Sungai Mahakam. Sehingga Armada Kerajaan Kutai Kartanegara meskipun tidak sebesar kerajaan-kerajaan di Jawa atau Sumatra mampu melakukan pencegatan yang efektif.

Terisolasi, Muara Kaman coba membangun persekutuan dengan kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman. Namun keberhasilan Kutai Kartanegara mengadakan perjanjian dengan kerajaan Sendawar  yang merupakan kerajaan terbesar di pedalaman  dari Suku Dayak Tunjung  semakin melemahkan Muara Kaman.

Klimak dari persaingan dua kerajaan ini terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Sinum Panji Mendapa di Kutai Kartanegara. Sedangkan di Muara Kaman, menjabat Maharaja Darmasetia. Sejarah mencatat bahwa pemicu peperangan adalah masuknya pengaruh Islam di tanah Kutai.

Namun pengaruh Islam itu hanya sebagai klimak dari berbagai konfrontasi yang telah terjadi ratusan tahun. Sumber ekonomilah yang menjadi alasan sebenarnya peperangan, dengan menguasai Muara Kaman, maka Kerajaan Kutai berhak atas emas yang melimpah dan berkuasa penuh terhadap kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman dan sekitar danau-danau besar di pedalaman hingga perbatasan Sendawar.

Dengan isoliasi yang sangat lama maka peperangan tidak berlangsung lama, dalam 3 hari pertama peperangan Brubus yang menjadi pusat pemerintahan berhasil dihancurkan. Berdasarkan buku sejarah Kutai yang harusnya dilakukan penelitian lagi kea rah itu, Perlawanan pasukan Muara Kaman hanya tercatat dalam hari pertama penyerangan, dengan cara menumpahkan emas-emas mereka di tepian Danau Lipan yang dahulu kala luasnya bagaikan lautan.

Siasat Kerajaan Muara Kaman itu berhasil sehingga banyak pasukan Kerajaan Kutai yang lupa daratan, sehingga masing –masing berlomba ke daratan, dan kedatangan mereka disambut senjata-senjata pasukan Darmasetia yang sudah menunggu.

Sementara perang berkecamuk, para pendeta Hindu yang selama ini mendarma baktikan dirinya kepada Kerajaan Martadipura, segera melarikan diri ke arah Wahau di Kutai Timur. Kepergian mereka demi menyelematkan berbagai perlengkapan ibadahnya, seperti arca-raca dewa dan berbagai perlengkapan upacara dari emas dan perah serta permata, karena terburu-buru banyak dari harta itu yang tercecer untuk kemudian ditemukan penduduk kemudian hari.

Peperangan berakhir setelah Pangeran Sinum Panji Mendapa dapat menewaskan Maharaja Darmasetia yang berperang demi keyakinan masing-masing. Dalam buku sejarah Kutai tertuliskan bahwa ketika itu penduduk berlarian, karena rumah-rumah di bakar, dan istana dihancurkan, darah menggenang hingga setinggi tumit akibat perang yang bagi mereka ketika itu sangat besar.

Setelah dapat mengalahkan Kerajaan Martadipura, maka Pangeran Sinum Panji Mendapa, menambahkan nama Martadipura di belakang nama Kutai Kartanegara menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang artinya menang di Martadipura dan aneksasi resmi dilakukan.  Pangeran Sinum sendiri juga menambahkan Martadipura di belakang namanya dengan Sebutan Pangeran Sinum Panji Mendapa Ing Martadipura.

Maka sejak itu berakhirlah Kerajaan Martadipura dengan Ibu Kota Martapura, bagi keturunan kerajaan yang memeluk Islam maka diperkenankan untuk kembali ke Martadipura  yang sejak itu lebih dikenal sebagai Muara Kaman hingga kini.

Sedangkan bagi yang masih mempertahankan agama lamanya yaitu Hindu, maka disebut dengan “Urang Adat Lawas” yaitu artinya orang mempertahankan adat yang lama. Mereka banyak mencari suaka ke Kerajaan Pantun di Kedang Ipil. Salah warisan kerajaan Martadipura yang diadopsi oleh Kutai Kartanegara adalah Tarian Dewa yang dipentaskan setiap Erau. Semula pada masa Orde Baru ketika Erau mulai diselenggerakan sebagai festival budaya, taruan tersebut bernama tarian mulawarman.

Entah mengulang kembali rivalitasnya, atau ada motif-motif lainnya, saat ini muncul kembali  pihak yang mengaku sebagai Keturunan Kerajaan Martadipura, dan mentasbihkan Kemaharajaannya dan silsilahnya. Apabila di Tenggarong ada Erau makan di Muara Kaman ada Cerau.

Tidak ada komentar: